PP KAMMI Evaluasi 10 Tahun Kepemimpinan Jokowi

Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (PP KAMMI), menggelar diskusi publik dengan tema, “Satu Dekade Jokowi Berkuasa: Dari Stagnasi Ekonomi Hingga Regresi Demokrasi”, pada Rabu, (7/8) melalui Zoom Meeting. PP KAMMI menyoroti jelang berakhirnya periode kepemimpinan Presiden Jokowi yang dinilai berbagai permasalahan negara justru semakin menyeruak kepermukaan. Hampir 10 tahun Presiden Jokowi duduk dipuncak kekuasaan, namun dalam kurun waktu tersebut berbagai kebijakan yang dikeluarkan tak mampu mengatasi persoalan yang ada.

Diskusi publik tersebut dihadiri pembicara Usman Hamid Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Yusuf Wibisono Direktur Next Policy, Novi Sismita Ketua Jaringan Advokat KAMMI, dan Arsandi Ketua Bidang Kebijakan Publik PP KAMMI.

Ketua Umum PP KAMMI, Ahmad Jundi Khalifatullah dalam sambutannya menyoroti turunnya indeks demokrasi, pertumbuhan ekonomi yang stagnan, hingga carut marutnya penegakan hukum.

“Dalam konteks demokrasi, era Jokowi indeks demokrasi kita turun. Disnasti politik Jokowi yang membajak demokrasi kita. Dalam bidang ekonomi, Jokowi janjikan pertumbuhan ekonomi 7% faktanya stagnan di 5%. Selain itu carut marutnya penegakan hukum salah satunya dengan revisi UU KPK dan Omnibus Law. Hutang BUMN yang terus meningkat menggambarkan buruknya tata kelola birokrasi. Juga IKN (Ibu Kota Negara) yang terkesan dipaksankan di tengah sulitnya perekonomian,” ujar Jundi.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, menyikapi fenomena populisme sebagai ancaman yang dapat merusak demokrasi. Menurutnya fenomena populisme semakin ke sini membuat orang lebih melihat figure personal, mengandalkan kharisma, dan semakin melupakan sistem faktor struktural.

“Karena kepopulisan Jokowi sehingga menurunkan kualitas kebijakan di Indonesia yang tidak lagi di lihat dari sistem dan kelembagaan yang bekerja namun justru sosok figure yang dilihat sebagai pertimbangan dalam pengambilan keputusan,” katanya.

Usman Hamid juga menguraikan fenomena regresi demokrasi yang terjadi di Indonesia. Menurutnya penurunan kualitas politik menyebabkan ketidakmampuan mengawal proses demokrasi yang berlangsung. Kemunduran partai politik di Indonesia disebabkan dengan ketidak mandirian pendanaan partai sehingga dekat dengan oligarki, ditambah dengan tata kelola partai yang salah. Kepemilikan media yang dimiliki hanya segelintir orang yang dekat dengan pemerintah juga menyebabkan kemunduran demokrasi. Kurangannya penegakan supremasi hukum, politisasi penegakkan pidana dan pelemahan KPK menambah serangkaian regresi demokrasi di era Jokowi.

Dalam diskusi PP KAMMI “Satu Dekade Jokowi Berkuasa”, juga menyoriti aspek ekonomi. Direktur Next Policy Yusuf Wibisono, mengatakan Jokowi telah gagal dalam kebijakan ekonomi. Menurutnya janji Jokowi pertumbuhan ekonomi 7% adalah hal yang wajar dan realistis karena era SBY pertumbuhan ekonomi pernah di atas 6%, bahkan sepanjang era SBY rata-rata pertumbuhan ekonomi mendekati 6%. Dengan warisan yang ditinggalkan oleh SBY, seharusnya ekonomi Indonesia bisa tumbuh 8% bahkan lebih.

“Dapat dikatakan Jokowi gagal dalam kebijakan ekonomi. Menyebabkan Indonesia terjebak dalam situasi middle income trap. Ditambah lagi gap atau kesenjangan ekonomi yang semakin tinggi antar kelas ekonomi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menjelaskan bahwa kemiskinan Indonesia terus turun, namun kelas menengah yang dekat atau rentan menjadi ke miskin justru semakin meningkat.

Novi Sismita Ketua Jaringan Advokat KAMMI, ikut menambahkan pandangan terhadap persoalan hukum yang terjadi era Jokowi. Di antaranya UU Cipta Kerja, pelemahan KPK melalui revisi UU KPK serta banyaknya konflik agrarian menambah kelam wajah demokrasi Indonesia era Jokowi.

“Kita saksikan banyak konflik agraria yang terjadi dan kegagalan Presiden Jokowi dalam penegakan Hukum dan HAM merupakan bukti kemunduran demokrasi Indonesia,” tegasnya.

Arsandi sebagai Ketua Bidang Kebijakan Publik PP KAMMI, menyebutkan Presiden Jokowi sebagai Man of Contradiction. Julukan diambil dari buku “Man of Contradictions: Joko Widodo and the Struggle to Remake Indonesia”, karya Ben Bland dari Lowy Institute. Menurutnya, Presiden Jokowi unik dan penuh dengan kontradiksi. Bertindak tanpa visi yang jelas namun dicintai oleh rakyatnya karena kebijakannya populis.

“Dicitrakan sebagai sosok sederhana tanpa adanya hasrat politik dan mengaku bukan bagian dari elit politik, nyatanya kini berhasil membangun dinasti politiknya sendiri. Terkesan humanis tapi tindakannya otoriter terlihat dari proyek mercusuar PSN, gencarnya pembangunan infrastruktur harus kita bayar mahal dengan pelanggaran HAM dan kerusakan lingkungan,” terangnya.

Arsandi juga memberikan catatan evaluasi ekonomi era Jokowi. Menurutnya angka kemiskinan tidak turun secara signifikan selama 10 tahun kepemimpinan Jokowi. Sebab kekeliruan menempatkan bansos sebagai strategi utama pengentasan kemiskinan.

“Citra Jokowi bagus di topang oleh bansos, padahal bansos bukan cara yang efektif mengentaskan kemiskinan. Di sisi lain kebijakan subsidi Jokowi juga tidak jelas, misal ternyata aggaran subsidi pupuk terus mengalami penurunan di mana pada tahun 2019 sebanyak 34 triliun dan tahun 2023 turun menjadi 24 triliun. Bertolak belakang dengan janji swasembada pangan Jokowi,” tutupnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *